Dua lok CC201 menarik KA Pasir Galunggung, diambil dari buku Fact and Figures 1989, diunggah oleh Bima Budi Satria
Pada April 1982, Gunung Galunggung meletus. Jutaan meter kubik pasir dan batu ditumpahkan keluar oleh Galunggung. Galunggung mengamuk selama 9 bulan, hingga Januari 1983. Saat meletus, Galunggung juga mempengaruhi perjalanan kereta api dengan merusak beberapa jembatan. Selain itu, hujan abu dari Galunggung mencemari persediaan air di Depo Cibatu, yang akhirnya merusak lok uap karena endapan abu di pipa-pipa apinya.
Namun, jutaan meter kubik pasir yang dimuntahkan Galunggung ternyata memiliki kualitas yang bagus serta nilai ekonomi yang tinggi. Pasir-pasir ini akan dimanfaatkan untuk pembangunan beberapa proyek di Jakarta. Pemda Tasikmalaya, Departemen Pekerjaan Umum, dan PJKA kemudian bekerjasama untuk mengangkut pasir-pasir ini. Pada 22 Oktober 1982 hingga November 1982, dilakukan pengangkutan pasir-pasir ini dari Tasikmalaya ke Jakarta.
Potensi angkutan yang besar kemudian ditindaklanjuti dengan membangun jalur cabang khusus menuju ke Sukaratu. Jalur cabang ini dimulai dari perlintasan No. 336 Babakanjawa di dekat Indihiang, menerus hingga Stasiun Pirusa, berujung di sebuah stockpile di Sukaratu. Pembangunan jalur ini selesai pada November 1983, dan jalur cabang Babakanjawa – Pirusa diresmikan pada Kamis, 1 Desember 1983.
Lintas Babakanjawa – Pirusa memiliki panjang 4,9 km (antara Babakanjawa – Pirusa) serta tambahan rel sekitar 1,5 km menuju stockpile Sukaratu. Lintas ini memiliki kecepatan maksimal 30 km/jam. Stasiun baru beserta emplasemennya dibangun di Pirusa, sementara di Babakanjawa hanya dibangun pos kecil berisi peralatan persinyalan serta kendali palang pintu perlintasan. Pemuatan pasir di Pirusa dilakukan dengan cara menuang langsung pasir dari dump truck ke gerbong. Dump truck akan naik ke ramp yang disediakan di emplasemen Pirusa, lalu langsung menuang pasir ke gerbong. Pembongkaran muatan pasir di Jakarta dilakukan di emplasemen Cipinang, dimana disiapkan sebuah conveyor belt di sisi barat emplasemen Cipinang.
Awalnya, dijalankan 3 KA yang menggunakan 60 gerbong datar bergandar dua. Gerbong-gerbong ini berkapasitas 9 meter kubik pasir. Pada 1986, Presiden Soeharto meminta agar kapasitas angkut KA dinaikkan dari 400 ton menjadi 900 ton. Menanggapi hal ini, PJKA melakukan peningkatan kapasitas angkut dengan menggunakan gerbong-gerbong bergandar 4 yang memiliki kapasitas lebih besar. Gerbong-gerbong terbuka ini banyak yang diambil dari gerbong tertutup seri TTW, yang dimodifikasi dengan cara membuang atapnya.Selain itu, halte Gandamirah yang telah ditutup diaktifkan kembali oleh PJKA dan ditingkatkan statusnya sebagai stasiun pada 1987. Setelah aktif sebagai stasiun, nama Gandamirah diganti menjadi Karangsari. Rangkaian KA Pasir Galunggung biasanya ditarik oleh 2 unit CC201 dalam posisi double traksi. Namun, mempertimbangkan beban rangkaian serta kekuatan alat perangkai/coupler, formasi ini diubah menjadi 2 unit CC201 dengan posisi 1 unit di depan menarik rangkaian dan 1 unit mendorong dari belakang.
Formasi ini digunakan antara Pirusa hingga Kiaracondong atau Padalarang, dimana kemudian rangkaian dipecah menjadi 2 atau melanjutkan perjalanan hanya dengan 1 unit lokomotif. Pada 1987, satu rangkaian isian Pasir Galunggung yang ditarik oleh CC201 17 terguling di Stasiun Malangbong. Lok dan rangkaian anjlok dan terguling, dimana lok ringsek dan beberapa gerbong rusak parah. Akibat kejadian ini, nama Stasiun Malangbong kemudian diganti menjadi Bumiwaluya.
Pada 1993, sempat muncul kajian untuk meningkatkan kembali kapasitas angkut Pasir Galunggung. Pada waktu itu, biaya operasional KA ini hampir mencapai 50% dari pendapatannya. Biaya operasional KA Pasir Galunggung terhitung tinggi karena menggunakan 2 lokomotif untuk setiap rangkaiannya serta puluhan gerbong, ditambah biaya perawatan lintas Babakanjawa – Pirusa. Perlu dilakukan peningkatan kapasitas angkut agar KA ini lebih menguntungkan bagi Perumka. Namun, karena ketiadaan armada serta biaya, Perumka memilih untuk menghapus KA ini serta menutup lintas Babakanjawa – Pirusa. Sekalipun masih terdapat deposit pasir dalam jumlah yang sangat besar serta permintaan pasir yang tinggi, Perumka tetap memilih untuk mengakhiri operasional KA Pasir Galunggung dan lintas Babakanjawa – Pirusa pada 1993.