Lokomotif CC5019 dan bangunan stasiun Kroya yang hancur, sekitar Agustus 1947. Foto : Gahetna
Pada Agresi Militer Belanda I, sekitar 30 Juli 1947, Wakil Kepala DKARI, Ir. Mohamad Effendi Saleh sedang melakukan inspeksi menuju Purwokerto. Inspeksi ini sekaligus untuk memberi perintah evakuasi seluruh sarana kereta api yang ada di Purwokerto. Sarana-sarana yang ada harus segera diungsikan menuju Yogyakarta.
Upaya evakuasi digencarkan seiring tembusnya pertahanan Republik Indonesia di Bobotsari pada 31 Juli 1947. Tembusnya pertahanan RI diiringi dengan gerak maju pasukan Belanda menuju Purwokerto. Kantor Inspeksi 4 Purwokerto (saat ini menjadi lapangan Porka) segera dikosongkan. Kantor Inspeksi 4 kemudian dipindah ke Wonosobo. Kantor Dinas Jalan dan Bangunan yang berada di kompleks Stasiun Purwokerto Timur segera dikosongkan, dipindah ke Yogyakarta. Bangunan Stasiun beserta Bengkel Purwokerto Timur kemudian dibakar. Bangunan kantor Inspeksi 4 sendiri diratakan oleh tentara Belanda yang naik pitam saat mendapati kantor ini kosong melompong pada 31 Juli 1947.
Di Kroya, terdapat 40 unit lokomotif seri CC dan C28 beserta puluhan kereta dan gerbong. Pada 31 Juli 1947, seiring dengan Tentara Belanda yang semakin mendekat ke Kroya, seluruh lok dan sarana yang ada di Kroya segera diberangkatkan menuju Yogyakarta. Dari konvoi-konvoi sarana, satu rangkaian yang terdiri dari 2 lok dan 4 kereta seri CL menemui nasib buruk setelah diserang pesawat Belanda di Kemranjen. Rangkaian ini terpaksa ditinggal di Kemranjen karena rusak. Stasiun Kroya sendiri dibumihanguskan. Rel-rel di perlintasan sebelah barat Stasiun Kroya dibongkar. Seiring dengan mundurnya DKARI menuju Yogyakarta, bangunan-bangunan stasiun beserta gudang dan bangunan lain banyak yang dibumihanguskan dengan cara dibakar atau dirusak. Satu unit lok seri DD dianjlokkan di dalam Terowongan Ijo untuk menghambat gerak laju Pasukan Belanda.
Seiring dengan Tentara Belanda yang semakin mendekati Gombong, Kantor Balai Besar DKARI yang ada di Gombong segera dipindah ke Yogyakarta. Di Gombong, Balai Besar DKARI menempati bekas barak tentara KNIL di kompleks Benteng Van der Wijk. Sebagian pegawai DKARI juga berkantor di Kebumen karena tidak tertampung di Gombong. Kantor DKARI di Kebumen juga dipindah ke Yogyakarta saat tentara Belanda merangsek ke timur.
Evakuasi secara tergesa-gesa ini terhitung berhasil. Banyak sarana yang dapat dipindah ke Yogyakarta, sementara kantor-kantor DKARI dapat dipindah tanpa kesulitan berarti. Belanda sendiri mendapat “hadiah” berupa stasiun-stasiun, bangunan, rel, dan sarana yang rusak seiring dengan kebijakan bumihangus yang diterapkan oleh Republik Indonesia.
Daftar Pustaka
Tim Telaga Bakti Nusantara.1997.Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 2.Penerbit Angkasa:1997