Menu Tutup

JB250 dan JS950, Argo Generasi Pertama

Rangkaian JB250 di Jembatan Cirangrang. Dokumen Perumka, koleksi Bima Budi Satria

JB250 Argogede dan JS950 Argobromo merupakan KA kelas Argo yang pertama kali diluncurkan. Keduanya diluncurkan di Gambir pada 31 Juli 1995 oleh Presiden Soeharto. Nama Argogede dan Argobromo sendiri diberikan oleh Presiden Soeharto. Kedua KA ini adalah flagship atau KA Unggulan, dan menjadi dasar bagi munculnya Argo-argo lain di kemudian hari.

JB250 dan JS950 merupakan akronim atau singkatan. JB250 berarti Jakarta-Bandung 2 Jam Pada 50 Tahun Kemerdekaan Indonesia, sementara JS950 berarti Jakarta-Surabaya 9 Jam Pada 50 Tahun Kemerdekaan Indonesia. Kata Argo sendiri berarti Gunung dalam bahasa Jawa Kuno/Kawi.

Awal Pengembangan Argo
Ide dasar pengembangan JB250 dan JS950 dicetuskan oleh Menteri Riset dan Teknologi B.J Habibie. Ide JB250 dan JS950 dicetuskan Habibie saat menempuh perjalanan Jakarta-Bandung di atas kereta wisata Toraja pada 6 Desember 1992. Dari ide ini, dikembangkanlah JB250 dan JS950. Selain itu, untuk mendukung program JB250 dan JS950, Pemerintah melalui Departemen Perhubungan memutuskan untuk membeli 12 unit CC203 dari General Electric, AS.Tujuan awal pengembangan Argo adalah untuk meningkatkan kecepatan dan pelayanan, serta sebagai awal untuk pengembangan KA Cepat di masa mendatang. Peningkatan kecepatan didukung dengan digunakannya bogie jenis baru (NT-60) yang mampu melaju hingga 120 km/jam, jauh di atas bogie lama yang hanya mampu melaju 90 km/jam. Peningkatan pelayanan diwujudkan melalui pemberian fasilitas-fasilitas yang sebelumnya tidak ada pada kereta kelas 1/Eksekutif, ketepatan waktu, serta tingkat kebisingan dan goncangan di dalam kereta yang rendah. Argo dimaksudkan sebagai pijakan awal dalam pengembangan KA Cepat karena Argo mengadopsi beberapa elemen KA Cepat/HSR, yaitu formasi rangkaian yang tetap, interior ala pesawat terbang, dan bogie untuk kecepatan tinggi.

​Logo Argo
Ilustrasi : Zacky Fahd Mustafa
Logo untuk branding Argo mengambil bentuk dari lokomotif dan rel, yang menyiratkan sifat tegas, pasti, bergerak/cepat, dan teknologis. Titik-titik berjumlah 50 buah menandakan peluncuran perdana Argo bertepatan dengan Kemerdekaan RI ke 50. Bentuk logo yang geometris memberi sifat rasional, obyektif, dan maskulin. Logo didesain untuk memberi kesan modern, teknis, dan futuristik.
Kereta
JB250 dan JS950 menggunakan kereta-kereta eksekutif buatan INKA. Kereta-kereta ini dibeli dengan harga Rp. 43,5 Milyar. Dalam pembuatannya, beberapa perusahaan lokal dilibatkan untuk menyuplai komponen-komponen kereta. Perusahaan lokal yang dilibatkan tidak hanya perusahaan besar seperti Krakatau Steel yang memasok baja, namun juga pengusaha kecil yang memasok komponen-komponen kecil seperti kunci. Hanya 23% dari harga kereta yang diimpor, sisanya dibuat di dalam negeri.​Kereta-kereta ini selesai diproduksi awal 1995, dan langsung diuji coba dengan CC203 yang baru tiba di Indonesia. Terdapat 3 set kereta, yang tiap setnya terdiri dari sekitar 8 kereta eksekutif, 1 kereta makan, dan 1 kereta pembangkit. Kereta-kereta JB250 dan JS950 menggunakan bogie jenis NT60/K8, bogie yang dikembangkan oleh INKA sekitar 1994. Dengan bogie NT60, JB250 dan JS950 dapat dipacu dengan kecepatan 120 km/jam. Kereta Eksekutif JB250 dan JS950 memiliki kapasitas 50 penumpang dalam formasi kursi 2-2, dengan dua toilet dan ruangan untuk telefon umum kartu. Kereta Makan terdiri dari kompartemen yang mampu memuat 8 penumpang, ruang kondektur/operator, ruang pramugari, dapur, meja makan untuk 6 orang. Kereta pembangkit dilengkapi dengan dua buah genset berkapasitas 500 kVA rakitan Boma Bisma Indra.

JS950 Argobromo dijatah 16 K1, 2 KM1, dan 2 BP, sementara JB250 dijatah 6 K1, 1 KM1, dan 1 BP. JS950 dirawat oleh Dipo Kereta Jakarta Kota, sementara JB250 dirawat oleh Dipo Kereta Bandung.

Fisik kereta untuk JB250 dan JS950. Dokumentasi INKA
Presiden Soeharto meninjau interior JB250/JS950 di Gambir, 31 Juli 1995. Koleksi Bpk. Eddy Mardijanto
JS950 Argobromo
Dalam perjalanan perdananya, JS950 Argobromo dihela oleh CC203 02. JS950 berjalan hampir nonstop antara Gambir-Surabaya Pasar Turi. Perhentian normal hanya di stasiun Semarang Tawang dan Pekalongan. Awalnya, JS950 hanya berjalan satu kali sehari, berangkat pada malam hari. JS950 menempuh perjalanan selama sekitar 9 jam 30 menit, dengan pergantian masinis dan kondektur di Pekalongan.
CC203 02 di ujung JS950, Gambir, 31 Juli 1995. Koleksi Bpk. Eddy Mardijanto
Awalnya, JS950 berjalan dengan nomor 8069-8070. Setelah pergantian GAPEKA (Grafik Perjalanan KA), barulah JS950 menyandang nomor 1-2.
​Jadwal awal JS950 :
8069 JS950 Argobromo
Surabaya Pasar Turi ber. 19.45
Semarang Tawang dat. 23.02, ber. 23.06
Gambir dat. 04.45
8070 JS950 Argobromo
Gambir ber. 20.00
Semarang Tawang dat. 01.35, ber. 01.39
​Surabaya Pasar Turi dat. 05.00

Sekitar 1997, merespon permintaan pasar, Perumka membuat jadwal pagi dari JS950. Keberangkatan pagi hanya dijalankan pada musim-musim tertentu, seperti long weekend, libur panjang, atau masa angkutan lebaran/natal.

Stamformasi JS950 tahun 1998 :
KA 5 JS950 Argo Bromo (SBI-GMR)
KA 6 JS950 Argo Bromo (GMR-SBI)
Stamformasi : CC 203 + 8 K1 Argo + K/M1 + BP (2 set)
JS950 mendapat saingan pada 1997. Saingan JS950 justru adalah derivat/turunannya sendiri, Argo Bromo II/Argo Bromo Anggrek. Selain itu, muncul KA Satwa yang juga melayani Gambir-Surabaya Pasar Turi. Sejak 1995, JS950 sudah bersaing dengan Sembrani. Saingan dari kelas Satwa kembali bertambah seiring diluncurkannya Gumarang. Akhir 1990an hingga 2002, terdapat 4 KA Eksekutif yang melayani rute Jakarta-Surabaya Pasar Turi, yaitu JS950 Argobromo, Argo Bromo Anggrek, Sembrani dan Gumarang. Hal ini berdampak pada okupansi masing-masing kereta, karena keempatnya “saling bunuh” akibat berebut penumpang. JS950 akhirnya “menyerah” setelah dihapus oleh PT KA melalui kebijakan rasionalisasi KA. Argo Pertama ini harus menyerah diusia 7 tahun. Kereta-kereta ex JS950 akhirnya dilungsurkan ke Bima, dan dipakai Bima hingga 2016/17 silam, saat Bima mendapat K1 baru buatan INKA.
KA 8/8F JS950 Argobromo melintas Stasiun Plabuan. Koleksi Bpk. Happy Muhardi

JB250 Argogede
​Dalam perjalanan perdananya, JB250 dihela CC203 01. Perjalanan perdana JB250 tidak berjalan mulus. JB250 ditemper sepeda motor di daerah Tambun. KA tidak berhenti, berjalan menyeret puing-puing sepeda motor. KA baru berhenti saat TKA melaporkan jika ada puing sepeda motor yang tersangkut di bogie kereta pembangkit. Akibat kejadian ini, perjalanan perdana JB250 tiba di Bandung terlambat 5 menit. Selain itu, cowcatcher sisi kanan bawah CC203 01 lecet.

JB250 berjalan 2 PP per hari, dengan formasi pendek, hanya 5-6 K1. Di kemudian hari, perjalanan JB250 bertambah menjadi 4 PP per hari. Sekitar 1996, CC201 mulai digunakan untuk menghela JB250, mengingat rangkaian JB250 yang tidak begitu panjang.

Presiden Soeharto secara simbolis memberangkatkan JB250. Koleksi Bpk. Eddy Mardijanto

JB250 dan Parahyangan merupakan ladang uang mengingat ramainya okupansi penumpang rute Jakarta-Bandung. JB250 dijatah K1 baru pada 2002. Di kemudian hari, sebutan JB250 luntur, menyisakan hanya nama Argogede. Frekuensi perjalanan Argogede ditambah, dengan memanfaatkan rangkaian yang idle atau menganggur. Rangkaian Harina dan Turangga yang menganggur di Bandung dimanfaatkan untuk berdinas Argogede. Selain itu, dipo Jakarta Kota menjalankan satu rangkaian perjalanan Argogede. Argogede rangkaian Jakarta Kota ini ditarik lok milik Dipo Jatinegara. Di kalangan pegawai KA, Argogede rangkaian Jakarta Kota sering disebut sebagai Argo Jati, merujuk pada Dipo Jatinegara, asal lok dinas rangkaian.

Titik balik bagi Argogede terjadi sekitar 2006-2007. Pukulan Tol Cipularang membuat Argogede ambruk. Rangkaian Argogede semakin memendek, hanya membawa 4-5 K1 saja. Okupansi penumpang turun drastis. Upaya penyelamatan berupa banting harga hanya membawa efek sementara. Okupansi penumpang sempat membaik, namun akhirnya jatuh kembali. Argogede akhirnya dilebur dengan Parahyangan per 27 April 2010, untuk menghindari kerugian lebih besar serta menyelamatkan kedua KA.

Argogede di Stasiun Sasaksaat, 2006. Foto : Bpk. Nova Prima

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Tidak Diperbolehkan Menyalin Isi Laman Ini