Menu Tutup

Petaka di Purwosari

Bus Flores yang terseret hingga peron Purwosari (Majalah MM, Juni II/1981)

7 Mei 1981, dini hari. Kota Solo terlelap dalam dekapan malam, hening. Penjaga Perlintasan Nomor 99, Jalan Slamet Riyadi, Purwosari, beranjak dari tempatnya, menenteng sebuah lentera merah. Sebentar lagi KA Cepat Jakarta – Solo akan lewat. Karena perlintasan ini tidak memiliki palang pintu, maka setiap KA melintas, PJL/Petugas Jaga Lintasan akan berdiri di tengah jalan mengibaskan bendera merah jika siang hari, atau menenteng sebuah lentera merah di malam hari. Malam itu, PJL 99, Kadyo, berdiri di tengah jalan dengan lentera merah di tangan. Dua lampu sorot di sisi kiri dan kanan jalan, serta sebuah lampu tergantung berkedip, memberi isyarat ke pengendara.

Dari arah timur/kota, sorot lampu nampak mendekat. Sorotnya yang semakin dekat menandakan jika pemilik lampu ini melaju kencang. Sorot lampu itu berasal dari iring-iringan 3 unit bus Flores yang mengangkut rombongan SMP Katolik Wijana, Jombang. Bus yang berangkat dari Jombang pukul 20.00 hari sebelumnya ini melaju kencang, sekitar 80 km/jam. Ketiganya meluncur membelah Jalan Slamet Riyadi, mendekati perlintasan. Namun, baik lampu isyarat dan bahkan Kadyo sendiri tidak mampu menghentikan ketiganya. Bus pertama dan kedua melenggang bebas melewati perlintasan. Namun, sebelum bus ketiga selesai menyebrangi rel, lokomotif KA Cepat Solo keburu menghajar bus ini. Suara benturan keras menggema, terpantul di bangunan di sekitar lokasi. Bus terseret hingga masuk ke peron Purwosari, sekitar 50 meter dari perlintasan. Niat berwisata di Jatijajar, Kebumen, berubah menjadi petaka. Di tengah tangisan dan rintihan minta tolong, warga berlarian menghampiri lokasi kejadian, beserta seisi Stasiun Purwosari yang juga berlarian ke arah bangkai bus. Bus rombongan lainnya berhenti. Seorang guru yang menghampiri lokasi kejadian hanya bisa terkulai lemas, hampir pingsan menyaksikan anak-anak didiknya kini tergeletak di sekitar lokasi, layaknya daun-daun yang berguguran.

Mayat-mayat anak-anak dikeluarkan satu persatu dari bus yang hancur. Mereka baru saja menyelesaikan EBTA (Evaluasi Belajar Tahap Akhir), dan akan merayakannya dengan berwisata ke Jawa Tengah. Sang Pengemudi, M, justru selamat tanpa luka apapun, sementara 28 anak-anak yang menjadi penumpangnya kini terbujur kaku tidak bernyawa. Kepala Sekolah, seorang guru, dan kernet juga terbujur kaku, tidak bernyawa. Dari 53 penumpang di bus, 31 diantaranya meregang nyawa. Sisanya luka-luka.

Masyarakat marah, pemandangan anak-anak yang tidak bernyawa membuat mereka marah. Flores menjadi sorotan, tidak hanya di Jawa Timur dan Jawa Tengah, tapi skala nasional. Bus naas ini tadinya dijadikan bus terdepan dari konvoi 3 bus. Namun, karena melaju terlalu kencang dan meninggalkan dua bus lainnya, bus ini kemudian dipindah menjadi bus paling belakang di Kota Madiun. Kru dua bus di depannya mengaku tidak melihat isyarat lampu di lokasi kejadian. Palang pintu sendiri tak dipasang karena terlampau sering rusak. Sudah setahun palang pintu tidak dipasang, setelah ditabrak truk tangki pada Februari 1980. Karenanya, PJKA memasang lampu isyarat, serta PJL akan berdiri di tengah jalan dan memberikan isyarat kepada pengendara.

Sanksi diberikan, awalnya, 18 unit bus milik Flores dicabut izin trayeknya, serta 4 orang pengemudi dikeluarkan dari Flores dan dilarang mengemudikan bus lagi di Jawa Timur serta dilarang masuk ke PO apapun. Namun, sanksi akhir yang diterima Flores lebih berat. Izin trayek Antar Kota Antar Provinsinya dicabut, sehingga armada Flores hanya dapat mengaspal hingga Mantingan, ujung barat Kabupaten Ngawi. Akibatnya, penumpang menghindari Flores agar tidak perlu berganti armada di Mantingan. Perusahaan yang memiliki 90 unit bus ini akhirnya mengambil langkah untuk menghindari gulung tikar. Dua buah PO baru muncul, yakni Eka dan Mira. Eka dan Mira berdiri di atas reruntuhan Flores, mengambil nama dari anak pemilik PO Flores. Namun, masyarakat sering mengartikan Eka sebagai singkatan dariĀ Eling Kereta Api, sebuah pengingat akan peristiwa pahit pada dinihari di Purwosari, 7 Mei 1981.

 

Referensi

Majalah MM, Juli II, 1981

Majalah Tempo, Nomor 11, Tahun XI, 16 Mei 1981

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Tidak Diperbolehkan Menyalin Isi Laman Ini