Salimin dan Bartels bergandengan tangan di rel KA Desa Panembangan, Cilongok. Diambil dari sampul buku Napak Tilas Tentara Belanda dan TNI karya Ant.P. de Graaf
Suatu sore di akhir 1990, sebuah bus kecil memasuki pelataran Stasiun Karangsari. Di dalam bus, 3 orang Belanda menunggu hujan reda. Dua jam menunggu, hujan tak kunjung reda dan hari mulai gelap, sehingga mereka memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke hotel mereka di Baturraden. Keesokan harinya, mereka kembali ke Karangsari. Ketiga orang itu adalah Teng Bartels, istrinya, Nel, dan teman Bartels, Fleuren. Mereka bertiga datang ke Karangsari di pelosok Banyumas demi satu tujuan, mencari sebuah tempat dari kenangan Bartels. Tempat dari salah satu kenangan buruk Bartels yang terjadi 41 tahun sebelumnya. Ingatan Bartels menuntun mereka ke Karangsari. Mereka mencari sebuah viaduk/jembatan kereta api. Mereka menunggu sopir bus yang sedang mengobrol dengan orang-orang yang mulai berkerumun. Orang penasaran, apa yang menyebabkan 3 orang Belanda jauh-jauh datang ke Karangsari. Dari hasil obrolan dengan orang-orang, sopir memberikan dua lokasi ke Bartels, yakni Desa Gununglurah dan Desa Panembangan, keduanya berada tidak terlalu jauh dari Karangsari di Kecamatan Cilongok. Teman-teman Bartels sebelumnya pernah mendatangi Gununglurah, sehingga Bartels kemudian memilih Panembangan.
Bus berguncang-guncang melewati jalan sempit yang jelek. Memasuki Desa Panembangan, seorang hansip mencegat bus. Sopir kemudian menjelaskan maksud kedatangan mereka ke Panembangan. Dari obrolan tersebut, Hansip tadi meminta rombongan untuk menunggu, ia akan memanggil seorang tua yang akan menjadi pemandu bagi ketiga orang Belanda ini. Orang tua ini tahu apa yang terjadi di Panembangan 41 tahun sebelumnya. Tak lama kemudian, seorang pria tua tiba. Kepada sopir, pria tua ini berkata jika ia adalah seorang veteran, purnawirawan TNI, dan ia bersedia untuk memandu mereka. Orang tua ini bernama Salimin. Ia kembali ke rumah untuk berganti pakaian, sementara bus diparkir di Lapangan Desa Panembangan. Setelah berganti pakaian, Salimin memandu ketiga orang Belanda ini dengan berjalan kaki. Tibalah mereka di tempat yang dicari Bartels. Sebuah viaduk berdiri gagah, mengangkangi jalur rel Purwokerto – Bumiayu. “Ini dia”, Bartels berseru dengan haru. Ingatannya kembali ke 41 tahun lalu.
19 Juni 1949, sebuah kereta diberangkatkan dari Purwokerto menuju ke Bumiayu. KA tersebut dimasinisi oleh Koeswadi. Koeswadi yang pro-Republik Indonesia diam-diam membocorkan informasi terkait KA ini jauh sebelum KA diberangkatkan. Koeswadi kemudian membuat kesepakatan dengan TNI yang dikomandani Kapten Poedjadi, bahwa ia akan membunyikan kode melalui peluit saat ia akan tiba di lokasi penghadangan di Panembangan. Berbekal informasi dari Koeswadi, TNI kemudian menyiapkan penghadangan di Panembangan. Jalan rel ditutup dengan batu dan rumput-rumput liar, sehingga KA tidak dapat melintas. KA yang dimasinisi oleh Koeswadi dikawal oleh 8 orang tentara Belanda (Koninklijke Landmacht) dari Kompi 3 dan 4 Batalyon 425. Mereka adalah Bartels, Dekker, Drinkwaard, Bos, Swinkels, Servaas, Burghouts, dan Beernink. Mereka duduk di sebuah gerbong terbuka yang dikelilingi karung pasir. Sekitar pukul 09 pagi, Koeswadi mulai membunyikan peluit lokomotif, tanda bagi pasukan TNI untuk bersiap-siap. Sesampainya di viaduk Panembangan, KA berhenti. 8 orang serdadu Belanda ini melompat keluar gerbong. Begitu mereka turun, TNI yang mengepung dari sisi atas rel mulai membuka tembakan. Di bawah tembakan gencar, mereka berlarian ke kiri dan kanan rel. Dekker dan Drinkwaard berlari ke tanggul, mencoba memasang senapan Bren. Sebelum Bren terpasang, mereka berdua diserang dari belakang. Mereka ditelanjangi, seragam dilepas hanya tinggal celana dalam, tangan diikat kencang, lalu dibawa ke atas viaduk sebagai tawanan, semua dalam posisi senapan-senapan TNI masih menyalak. Dari atas viaduk, seorang anggota TNI menambak. Tembakannya jitu, mengenai serdadu Bos di kepalanya. Bos tergeletak, lalu meninggal dunia 10 menit kemudian. Menyusul kemudian Servaas dan Swinkels juga tertembak dan meninggal dunia. Beernink sendiri pingsan di semak-semak. Bartels dan Burghouts susah payah merangkak mencari perlindungan. Senapan milik Bartels sendiri tertembak dan rusak. Pada hari itu, Bartels dan Burghouts juga tertangkap. KA yang mereka kawal mundur kembali ke Purwokerto. TNI juga menembaki KA tersebut, walaupun mereka sengaja tidak menembaki masinis Koeswadi. Pada hari itu, 4 orang tentara Belanda ditawan TNI, sementara 3 orang lainnya meninggal dunia. Dari pihak TNI, Sersan Dalam gugur sebagai kusuma bangsa akibat terlalu berani, sementara Prajurit Naryan terluka. Sersan Dalam tertembak setelah mencoba maju menyerang dengan klewang. TNI merampas 5 buah senapan Lee-Enfield dan sepucuk senapan otomatis Bren. Bartels dan kawan-kawannya kemudian digiring ke Panembangan. Beernink sendiri tidak ikut ditawan, ditemukan oleh patroli Belanda dalam posisi masih pingsan di semak-semak.
Semua itu melintas jelas di pikiran Bartels. Ia kemudian bertanya pada Salimin setelah Salimin menjelaskan tempat dimana Drinkwaard dan Dekker ditawan. “Pada hari itu, ada dua orang Belanda lagi yang ditangkap. Dimanakah tempatnya?” tanya Bartels. Salimin kemudian menuntun mereka ke tempat itu. Begitu sampai, Bartels terharu. Ia menatap Salimin, lalu berkata lirih. “Saya adalah satu dari dua orang Belanda yang ditawan disini”. Salimin terkejut dan terharu, terbata-bata ia mengucap permintaan maaf ke Bartels. Bartels menangis. Kenangan itu masih nampak jelas di ingatannya. Namun, permusuhan telah selesai. Bartels kembali untuk berdamai dengan masa lalunya. Pada hari itu, Bartels dan Salimin yang dahulu bermusuhan bertemu kembali. Keduanya bergandengan tangan, berjalan bersama di rel kereta. Rel yang menjadi saksi peristiwa 41 tahun lalu kini menyaksikan sebuah pemandangan aneh. Musuh yang saling bergandengan tangan. Musuh yang menyingkirkan semua kenangan buruk masa lalu, yang berdamai dengan masa lalunya.
Bartels, Nel, dan Fleuren kemudian bertandang ke rumah Salimin. Disini, mereka disuguhi air kelapa muda yang langsung dipetik dari pohon. Warga mulai berdatangan ke rumah Salimin, penasaran dengan kehadiran tiga orang Belanda. Menggunakan bahasa Melayu Pasar, Bartels bercerita bagaimana ia dan tiga orang temannya digiring masuk ke Panembangan dengan hanya mengenakan celana dalam dan tangan terikat. Bartels masih ingat bagaimana wanita-wanita di Panembangan terkekeh menertawai dirinya dan teman-temannya yang digiring oleh TNI. Bartels kemudian bercerita bagaimana ia diberi minum oleh seorang wanita atas perintah dari seorang opsir TNI. Wanita ini masih hidup, sayang ia tidak ingat peristiwa tadi. Bartels ditawan selama tiga bulan, disembunyikan di desa-desa di lereng Gunung Slamet. Selain 4 orang yang ditawan di Panembangan, TNI menawan 2 orang serdadu Belanda lainnya di tempat lain. Mereka berenam dibebaskan pada September 1949 melalui pertukaran tawanan, ditukar dengan 30 orang anggota TNI yang ditawan Belanda. Setelah kunjungan ini, Bartels lega, ia dapat berdamai dengan masa lalunya. Sebuah “terapi” yang membuatnya lebih tenang di usia senjanya.
Disarikan dari
Banyumas Membara Era Tahun 1945-1950. Tim JHC BPP-JSN 45 Banyumas. Grafika. Gombong. 2004.
Napak Tilas Tentara Belanda dan TNI. Ant.P. de Graaf. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. 1997