Menu Tutup

Tragedi Menjelang Pagi, Jombang 1993

CC201 101 dengan KA Jayabaya Selatan di Cirebon, 2005 (Foto : Bpk. Mohamad Lutfi Tjahjadi)

Sabtu, 24 Juli 1993, menjelang pukul 4 pagi. Jombang kala itu lengang, masih tertidur lelap. Hanya beberapa muadzin yang terbangun, bersiap untuk mengumandangkan adzan subuh. Sebuah sorot lampu terlihat di jalan Prof. Muh. Yamin, berjalan dari selatan ke utara, mendekati perlintasan nomor 72. Sebuah bus Hasti, dengan nopol AG 3770 C meluncur dengan kecepatan sedang. Mendekati perlintasan, bus ini tetap melaju, sementara palang pintu perlintasan berdiri tegak dan sirine perlintasan diam seribu bahasa. Saat bus menyebrang rel, tiba-tiba saja KA Jayabaya yang ditarik CC201 101 melintas, langsung menyantap bus yang masih berada di tengah rel. Suara benturan keras membangunkan warga. Waktu menunjukkan sekitar pukul 03.55 saat KA Jayabaya bertabrakan dengan bus Hasti. Jayabaya berhenti sejenak, mengecek kondisi lokomotif dan rangkaian, sementara warga berlarian, membantu mengevakuasi korban. Sesaat kemudian, Jayabaya kembali melanjutkan perjalanan menuju Surabaya.

Pemandangan mengerikan menyambut warga yang menolong. Jenazah bertebaran, terlentang di tengah rel, terjerembab di sawah, serta terjepit badan bus yang ringsek. Badan bus ringsek parah, bagian yang dihantam lokomotif hampir menyatu dengan bagian sebelahnya. Bus terbalik, terjungkal ke sawah, terpental sejauh 44 meter dari perlintasan. Pemandangan yang mengerikan ini ditambah dengan teriakan minta tolong maupun jerit kesakitan korban luka. Adzan subuh sayup-sayup berkumandang saat warga sedang mengevakuasi korban. Satu persatu jenazah digotong, sementara satu persatu korban luka dievakuasi. 15 jenazah dibaringkan, menunggu evakuasi. 10 jenazah lelaki, sisanya jenazah perempuan. Sementara 23 orang terluka, ditangani seadanya sembari menunggu ambulans ataupun angkutan menuju RSUD Jombang. Diantara korban meninggal dunia, terdapat 5 orang yang mengenakan seragam loreng. Mereka adalah anggota marinir yang berangkat untuk berdinas ke Surabaya. Sisanya adalah karyawan, maupun mahasiswi yang hendak berangkat. Selain itu, kondektur, kernet, dan pengemudi bus juga meninggal dunia. Beberapa penumpang terluka parah, harapan hidup mereka tipis. Namun, pada akhirnya, 15 orang meninggal dunia, seluruhnya meninggal di lokasi kejadian, sementara 20 orang luka berat dan 3 orang luka ringan.

Pertanyaan timbul, mengapa palang pintu berdiri tegak, tidak menutup, serta sirine tetap diam? PJL/Petugas Jaga Lintasan diduga lalai. Ia disebutkan lalai, mengantuk saat Jayabaya sudah menunjukkan lampu sorotnya. Akibatnya fatal, pintu perlintasan tidak ditutup, yang membuat bus tetap melintas. Akhirnya, hilanglah nyawa 15 orang, sementara 23 lainnya luka-luka.

 

Referensi

Bali Post, Minggu, 25 Juli 1993

Bali Post, Selasa, 27 Juli 1993

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Tidak diperbolehkan menyalin isi laman ini. Hubungi Admin untuk keterangan lebih lanjut.