28 September diperingati sebagai Hari Kereta Api. Namun, mengapa tanggal ini dipilih menjadi Hari Kereta Api? Apakah hanya untuk mengenang pengambil alihan Balai Besar Kereta Api di Bandung saja? Sebelum menjawab pertanyaan ini, kita akan lebih dulu memahami apa yang terjadi setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga Pengambil alihan Balai Besar pada 28 September 1945. Peristiwa-peristiwa di bawah ini disajikan secara beruntun mulai dari awal September 1945 hingga seluruh Kereta Api dapat diambil alih.
Pengambilalihan Seibu Kyoku/Eksplotasi Barat
Sebelum Proklamasi, telah ada kelompok Pemuda Kereta Api. Mereka diantaranya adalah Legiman, Haryono, Sutjipto, dan Gurdali. Mereka dikenal sebagai kelompok Menteng 31. Setelah Proklamasi, keinginan untuk merebut Kereta Api semakin kencang. Kelompok Menteng 31 bersama dengan Kelompok Pemuda kemudian menemui Golongan Tua Kereta Api, diantaranya Suyatman, Sugandi, dan Suryoningrat. Rapat-rapat kemudian dilaksanakan untuk membahas pengambilalihan kekuasaan.
Pada 2 September 1945, dilaksanakan pertemuan di rumah R. Bandero di Jalan Manggarai Utara No.23 . Pertemuan ini dihadiri oleh perwakilan dari Golongan Muda (diantaranya Jatmiko, Kusto, Muljadi, Sukardjo, Moh. Rachmat, Niman Sastramanggala, Achmad Basar, Sukirman, Sutrisno, Gurdali, Warsito, Malidar, Warsiti, Syamsiar, Suharjono, Pademan, Sukadar, Suprapto, Ganjil, Sukaesih, Arifin Rendah, dan B.S Anwir), Golongan Tua (diantaranya Sugandi, Suyatman, Suwignyo, Surjadiningrat, Sobandi, R. Bandero, Marhap, Rafiudin, Moh. Anwar, Supardi, dan Omar), Kelompok Menteng 31 (diantaranya Maruto Nitimihardjo, Johar Nur Kusaeni, Armansyah, Ma’riful, Pandu Kartawiguna, dan Kusnendar), dan Tokoh Buruh Mr. Samijono dan Mr. Hendromartono. Disepakati bahwa esok hari, 3 September 1945, Seibu Kyoku akan diambil alih dari tangan Jepang. Pengambilalihan akan dilaksanakan di Stasiun Jakarta Kota, kantor Seibu Kyoku.
Pada 3 September 1945, di depan stasiun Jakarta Kota, ribuan pegawai KA dan massa dari Kelompok Menteng 31 berkumpul. Dipimpin Sugandi, pengambilalihan dimulai. Sebuah tuntutan singkat dilayangkan, “bahwa Indonesia telah merdeka, dan Jawatan Kereta Api mulai hari ini berada dalam kekuasaan Republik Indonesia. Mohon anda untuk menyerahkan kekuasaan kantor ini kepada bangsa kami, keselamatan anda akan kami jamin. Anda silakan untuk turun ke bawah”. Diluar dugaan, pejabat Jepang menuruti kemauan massa, tidak memanggil Kempeitai untuk membubarkan massa. Maka, per 3 September 1945, Seibu Kyoku diambil alih. Peristiwa ini kemudian disampaikan ke Presiden Soekarno, yang menyambutnya dengan gembira. Berita pengambilalihan kemudian disebarkan menggunakan telegraf ke seluruh Jawa. Presiden Soekarno sendiri menunjuk Sugandi sebagai Kepala Eksplotasi Barat. Pada 4 September 1945, tiga orang utusan dikirim ke Bandung, yakni Gunari Wiriodinoto, Suyatman dan B.S Anwir. B.S Anwir sendiri kemudian melanjutkan perjalanan ke Semarang dan Surabaya.
Pengambilalihan Chubu Kyoku/Eksplotasi Tengah
Pada 19 Agustus 1945, atas prakarsa Sukamsi dan Munadi, diadakan pertemuan. Pertemuan ini menghasilkan pembentukan panitia dengan nama Pucuk Pimpinan DKA Jawa Tengah dengan ketua Mr. Sukardan yang diberi tugas untuk mengambilalih kekuasaan kereta api. Namun, karena panitia tersebut tidak dapat segera melaksanakan tugasnya dan adanya utusan yang tiba dari Jakarta (Suyatman dan B.S Anwir), pada 12 September 1945 panitia tersebut diganti dengan Komite Perjuangan dengan ketua Parwitokusumo. Komite Perjuangan kemudian membentuk Pimpinan Darurat Eksplotasi Tengah dengan Kepala Mr. Soekardan, Kepala Administrasi R. Abdulah Judokusumo, Kepala Teknik Jalan Bangunan dan Traksi Ir. M. Husein, Kepala Lalu-lintas Mr. Sumarlan, Kepala Inspeksi I M. Marsi, Kepala Inspeksi II M. Rasiman, dan Kepala Inspeksi III R. Kardono Sumodinoto.
Komite Perjuangan ini kemudian berunding dengan Pejabat Jepang. Setelah perundingan yang alot, pada 26 September 1945 kantor Chubu Kyoku di Semarang diambil alih. Pengambilalihan dilakukan oleh Komite Perjuangan dibantu Angkatan Moeda Kereta Api.
Pengambilalihan Balai Besar Kereta Api, Bandung
Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, pemuda-pemuda kereta api pada 19 Agustus 1945 membentuk sebuah Dewan Pimpinan Bayangan untuk bersiap mengambil alih kekuasaan kereta api dari tangan Jepang. Dewan ini dipimpin oleh Moh. Ismangil dibantu Ir. Moh. Effendi Saleh dan Mr. Suwahyo, serta Sugondo, Waluyo, Sukaedi Sumitrahardja, Apandi Widapawira, Pengestu, dan A. Rahim.
Sebelum pengambilalihan Balai Besar Rikuyu Sokyoku di Bandung pada 28 September 1945, kelompok-kelompok Pemuda Kereta Api sudah mendekati pimpinan-pimpinan Jepang di daerah-daerah, menyarankan kepada mereka untuk tidak melawan dan tinggal di rumah masing-masing pada saat pengambilalihan. Mulai 26 September 1945, pimpinan-pimpinan Jepang dinyatakan tidak lagi berkuasa atas Kereta Api, dan seluruh pegawai Kereta Api digolongkan sebagai Pegawai Negeri Republik Indonesia.
Atas keputusan Komite Nasional Indonesia Daerah Bandung, 28 September ditetapkan sebagai tanggal pengambilalihan Balai Besar Rikuyu Sokyoku. Keputusan ini diambil pada 27 September 1945. Pada 28 September 1945, ribuan pegawai kereta api berkumpul di depan Balai Besar Rikuyu Sokyoku. Pada hari itu, hanya ada seorang pejabat Jepang, yakni Yotshimatsu selaku Kepala Tetsudo Kyoku Cho. Di hadapan ribuan pegawai, Moh. Ismangil didampingi Sumarsono, Suhajono, Rosadi, Mamad, Saleh, Harun, serta beberapa orang pemuda bekas anggota Seinendan menyampaikan pernyataan pengambilalihan kekuasaan kereta api dari tangan Jepang. Seluruh inventaris serta peralatan perkeretaapian yang digunakan oleh pejabat Jepang agar dikembalikan. Yotshimatsu hanya bisa menuruti pernyataan ini.
Segera, Sudarmadi dibantu Abu Sofyan dan Harun menurunkan bendera Jepang, lalu menggantinya dengan bendera merah putih. Mereka adalah orang pertama yang mengibarkan Sang Saka Merah Putih di Balai Besar Bandung. Setelah bendera merah putih dapat dikibarkan, seluruh massa yang hadir secara spontan menyanyikan lagu Indonesia Raya, yang diakhiri dengan pekik Merdeka sebanyak tiga kali. Pengambilalihan Balai Besar Rikuyu Sokyoku selesai pada hari itu, tanpa pertumpahan darah. Pengambilalihan ini juga menjadi penanda berdirinya Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI).
Pada 30 September 1945, para pimpinan pegawai kereta api di Bandung mengadakan pertemuan. Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan tentang nama dan pengurus perusahaan. Nama yang ditetapkan adalah Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI), dengan pengurus yang disebut sebagai Dewan Pimpinan Pusat Kereta Api yang diketuai oleh Mr. Suwahyo Sumodilogo, Wakil Ketua Ir. Moh. Effendi Saleh, Pimpinan dan Pelaksana Harian Ir. Supardi yang waktu itu masih berada di Purwokerto. Dewan Pimpinan Pusat Kereta Api akan menjalankan roda-roda DKARI sampai ada keputusan lebih lanjut dari Pemerintah RI.
Mulai 5 Oktober 1945, orang-orang Jepang tidak diperbolehkan lagi menginjak kantor, depo, bengkel/Balai Yasa, stasiun, gudang dan areal-areal DKARI lainnya. Mulai hari itu juga, Sang Saka Merah Putih berkibar di seluruh wilayah DKARI, menggantikan bendera Jepang.
Pengambilalihan Tobu Kyoku/Eksplotasi Timur
Seiring dengan keputusan pada 19 Agustus 1945, Suyatman dan BS Anwir kemudian berangkat menuju Surabaya. Di Surabaya, mereka disambut oleh kelompok Pemuda yang telah membentuk Dewan Bayangan dengan pimpinan Suji dan Ir. Aboeprajitno.
Pengambilalihan kekuasaan di Jawa Timur berhasil dilaksanakan pada 30 September 1945 dengan bantuan kelompok Pemuda Surabaya. Kemudian pada 1 Oktober 1945, dilaksanakan peresmian sekaligus pengangkatan Dewan Pimpinan ETR dengan Ketua Suji dan Pelaksana Harian Ir. Aboeprajitno.
Pengambilalihan Nambu Sumatora Tetsudo/Eksplotasi Sumatera Selatan
Pengambilalihan di Sumatera Selatan berjalan tanpa halangan, dan per 1 Oktober 1945 kekuasaan kereta api sudah berada di tangan Republik Indonesia. Pengambilalihan dipimpin oleh Sudarmadi. Pucuk Pimpinan DKARI Sumsel dijabat oleh Sudarmadi, sementara Pramon bertindak sebagai Kepala Eksplotasi Sumatera Selatan.
Pengambilalihan di Aceh
Pengambilalihan di Aceh sendiri dilangsungkan pada akhir September 1945 dipimpin oleh R. Insoen. Pengambilalihan dapat berjalan lancar tanpa pertumpahan darah sekalipun sempat terjadi beberapa insiden. Pengambilalihan dibantu oleh Angkatan Pemuda Indonesia yang dipimpin oleh Syamaun Gaharu.
Pengambilalihan Seibu Sumatora Tetsudo/Eksplotasi Sumatera Barat
Pengambilalihan di Sumatera Barat dilaksanakan tidak lama setelah pengambilalihan di Sumatera Selatan pada akhir September 1945, di bawah pimpinan Sidi Bakarudin. Sebelumnya, telah dibentuk semacam Dewan Daerah yang terdiri dari Marah Badarudin, Anas St. Masabumi, Soekadi, dan Sueb. Sempat terjadi insiden di Bukittinggi. Kepala Stasiun Bukittinggi yang pada waktu itu dijabat oleh orang Jepang tidak memperkenankan bendera merah putih dikibarkan di Stasiun. Pemuda-pemuda kereta api kemudian bertindak nekad dengan menurunkan bendera Jepang dan menggantinya dengan bendera merah-putih. Terjadilah insiden pergantian bendera selama beberapa kali, sampai akhirnya para pemuda mengikat tali tiang bendera dengan simpul mati. Satu orang dari Pihak Jepang kemudian memanjat tiang bendera untuk menurunkan bendera merah putih, namun ia terjatuh. Berita peristiwa ini menyebar dengan cepat, dan rakyat segera memadati tempat kejadian untuk bersiaga, serta mengambil alih Stasiun Bukittinggi. Di Padangpanjang, pengambilalihan kekuasaan dipimpin oleh Ngaeran, J. Lohannapessy, A. Pauw, dan lainnya.
Pengambilalihan Kita Sumatora Tetsudo/Eksplotasi Sumatera Utara
Pada 3 Oktober 1945, di bawah pimpinan Ajit dan Moh. Irun, kereta api di Sumatera Utara diambilalih tanpa pertumpahan darah. Pengambilalihan ini dibantu oleh Pesindo Kereta Api Deli. Yang pertama diambilalih di Sumatera Utara justru stempel tanda tangan keuangan, agar memudahkan penguasaan dana milik Kita Sumatora Tetsudo yang tersimpan di Bank.
Mengapa 28 September?
Mengutip buku 20 Tahun Kemerdekaan Indonesia, 28 September 1945 adalah titik balik Perkeretaapian Indonesia. Buku ini disusun dalam situasi Indonesia yang masih diselimuti semangat revolusioner, sehingga kata-katanya mungkin akan terkesan “berlebihan”. 28 September 1945 adalah titik dimana Kereta Api beralih dari “alat golongan kapitalis untuk mengeruk keuntungan” menjadi “alat revolusi”. Memang, yang terjadi selanjutnya adalah perjuangan penuh darah dan air mata yang dilakukan segenap insan DKARI untuk mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Kantor-kantor berpindah, seiring dengan berubahnya wilayah Republik Indonesia akibat Agresi Militer Belanda. Para pegawai berpencar, bergerilya di gunung-gunung dan hutan-hutan, mengangkat senjata, atau malah berpura-pura bergabung dengan musuh untuk kemudian melakukan tindakan yang menguntungkan Republik Indonesia. 1945-1949 adalah tahun-tahun penuh derita, dan DKARI mampu bertahan walaupun babak belur dihajar Belanda dengan SS-VSnya.
28 September 1945 adalah saat dimana Kereta Api untuk pertama kalinya menjadi milik kita, Bangsa Indonesia. Mulai saat itu, cita-cita, tujuan, dan visi Kereta Api diatur oleh kita, ditentukan oleh kita, dan untuk kepentingan kita sendiri. Kereta Api tidak lagi diatur untuk melayani kepentingan ekonomi bangsa asing, namun melayani kepentingan kita sebagai sebuah bangsa dan negara yang berdaulat. Masih dari buku 20 Tahun Kemerdekaan Indonesia, “DKA bukanlah sebuah perusahaan yang semata-mata bertujuan mengadakan eksploitasi demi keuntungan sebesar-besarnya. Mengejar keuntungan yang amat besar tidaklah dijadikan obyek tujuan yang utama”. Kalimat ini rasanya tepat, karena kereta pertama yang dibeli pertama kali oleh DKA ditujukan untuk memudahkan pedagang pasar, bukan penumpang kelas 1. Di kemudian hari, Garuda Wahana Daya Pertiwi menjadi lambang dari Perkeretaapian Indonesia. Wahana Daya Pertiwi dapat diartikan sebagai Sarana Untuk Kemakmuran Ibu Pertiwi. Kalimat-kalimat paragraf ini mungkin akan terkesan sangat klise. Namun, Wahana Daya Pertiwi seharusnya tidak dimaknai sebagai sebuah simbol belaka. Ia adalah harapan yang ditaruh di pundak Perkeretaapian Indonesia. Sebuah harapan yang memang menjadi perwujudan dari “semangat 28 September 1945”. Ada baiknya setiap 28 September kita bertanya kepada bangunan stasiun-stasiun kecil di Pedesaan, apa manfaat yang mereka berikan bagi warga di sekelilingnya? Apakah kereta api telah membawa manfaat bagi warga sekitar? Atau kereta api hanya sekedar numpang lewat? 28 September seharusnya menjadi refleksi, sejauh mana kita telah melangkah. Refleksi akan semangat para pendahulu kita, refleksi akan tujuan dari Perkeretaapian Indonesia. Refleksi, apakah kereta api telah menjadi, atau setidaknya menuju, sebuah sarana untuk kemakmuran Ibu Pertiwi, bukan hanya sekedar alat untuk mencatatkan laba di Laporan Keuangan.