Perjalanan perdana Parahyangan. Koleksi Anonim
Pada 31 Juli 1971, PNKA meluncurkan sebuah KA yang akhirnya menjadi legenda dalam perkeretaapian Indonesia, Parahyangan. Parahiangan/Parahijangan (ejaan pra EYD) merupakan KA Kelas Dua/Bisnis yang melayani rute Bandung-Jakarta. Pada tahun-tahun awal beroperasi, Parahyangan mampu menempuh jarak Bandung-Jakarta selama dua jam tiga puluh menit.
Waktu perjalanan melambat beberapa saat setelah diluncurkan. Nama Parahyangan merujuk pada “jajaran gunung/pegunungan tempat para Hyang/Dewa”. Kereta-kereta Parahyangan menggunakan livery krem-oranye, sama seperti kereta-kereta Mutiara Utara. Awalnya, Parahyangan menggunakan BW/K2 buatan Jerman (K2-60an), dengan lok penarik BB301. Parahyangan termasuk KA Bendera pada waktu itu.
Jadwal 1971 :
Djakarta-Bandung
R32
Djakarta 06.30
Bandung 09.28
R34
Djakarta 10.24
Bandung 13.35
R38
Djakarta 15.30
Bandung 18.24
Bandung-Djakarta
R33
Bandung 05.54
Djatinegara 08.26, 08.29
Gambir 08.46, 08.49
Djakarta 09.03
R35
Bandung 10.30
Djatinegara 13.02, 13.05
Gambir 13.22, 13.25
Djakarta 13.39
R39
Bandung 14.49
Djatinegara 17.21, 17.24
Gambir 17.41, 17.44
Djakarta 17.58
Satu unit BB301, BB301 27, sempat dicat dengan warna krem-oranye, menyamakan dengan warna kereta Parahyangan. BB301 27 merupakan lok eigenaar dengan masinis Bpk. Sulaeman (lihat catatan di akhir artikel). Beberapa kru menjuluki BB301 27 sebagai “lok bodrek”. Pada 1976, BB304 digunakan sebagai lok penarik Parahyangan. Namun, penggunaan BB304 hanya bertahan sekitar setahun. Pada 1977, CC201 digunakan untuk menarik Parahyangan. Pada 1978, rangkaian Parahyangan diganti dengan rangkaian kereta Bisnis baru buatan Jepang.


Memasuki era 1980an, Parahyangan mulai menjadi KA favorit masyarakat. PJKA bahkan sempat menjalankan Parahyangan rangkaian panjang secara reguler. Parahyangan panjang ini terdiri dari 14 kereta yang dihela 2 unit CC201. Parahyangan panjang dijalankan dari Bandung pada waktu subuh, dan kembali ke Bandung sekitar pukul 09 pagi. Parahyangan rangkaian panjang ini biasa berjalan pada hari Senin. Pada foto milik Bpk. Santo Tjokro di atas, rangkaian bertambah karena beberapa kereta disewa rombongan darmawisata salah satu SMA di Bandung. Per 1984, Parahyangan ditambah kelas Eksekutif. Parahyangan menjadi KA Campuran Eksekutif-Bisnis. Meskipun terhitung sebagai KA Bendera, namun nomor Parahyangan justru berada di papan tengah GAPEKA, jauh dibawah Bima yang menjadi pemuncak GAPEKA.
Stamformasi 1989 :
KA 107 Parahyangan (BD-JAKK)
KA 108 Parahyangan (JAKK-BD)
KA 109 Parahyangan (BD-JAKK)
KA 110 Parahyangan (JAKK-BD)
KA 111 Parahyangan (BD-JAKK)
KA 112 Parahyangan (JAKK-BD)
Stamformasi : 2 K1 + 5 K2 + KM1 + BP
PLB 8027 Parahyangan (BD-JAKK)
PLB 8028 Parahyangan (JAKK-BD)
PLB 8029 Parahyangan (BD-JAKK)
PLB 8030 Parahyangan (JAKK-BD)
Stamformasi : 2 K1 + 5 K2 + KM1 + BP
Parahyangan mulai merangsek ke deretan atas GAPEKA pada era 1990an. Pada GAPEKA 1993, posisi KA 1 sudah diduduki oleh Parahyangan. Parahyangan sendiri menjadi kelinci percobaan Perumka pada 1992, untuk memasarkan kelas Eksekutif dengan tampilan baru serta beberapa fasilitas tambahan. Waktu tempuh Parahyangan paling pagi pada lintas Bandung-Jatinegara dapat dipangkas menjadi hanya 2 jam 21 menit. Percobaan waktu tempuh tsb dilakukan pada 24 Februari 1992, dengan CC201 94 menjadi lok penarik. KA berangkat dari Bandung pukul 05.00, dan tiba di Jatinegara pukul 07.21. Parahyangan sempat menjadi kandidat bagi proyek JB250, namun, proyek JB250 pada akhirnya menghasilkan Argogede.
Era 1990an menjadi masa keemasan bagi Parahyangan, meskipun Perumka meluncurkan Argogede. Parahyangan pernah mencapai 39 perjalanan pada 1998, termasuk perjalanan Fakultatif maupun yang hanya berjalan pada musim libur. Stamformasi 1998 : CC201 + 2K1 + 1K/M1 + 4K2 + 1BP. Selain CC201, CC203 juga mulai digunakan untuk dinasan Parahyangan. Parahyangan dan Argogede menjadi tambang uang Perumka, mengingat tingginya minat masyarakat pada rute Bandung-Jakarta.
Stamformasi GAPEKA 1996 :
Stamformasi GAPEKA 1998 :

Senjakala bagi Parahyangan mulai nampak saat Tol Cipularang dioperasikan. Beroperasinya Cipularang memungkinkan waktu tempuh roda karet menyamai kereta api, bahkan lebih cepat. Bisnis travel mulai menjamur. Perlahan-lahan, Parahyangan ditinggalkan penumpangnya. Cipularang memukul Parahyangan dengan keras. Stamformasi langsung memendek, dari 8 kereta menjadi 6 kereta, akibat beroperasinya tol. Bahkan dengan rangkaian yang sudah pendek sekalipun okupansinya tidak maksimal. Nasib sama dialami oleh Argogede. PT KA sempat memberi harga miring bagi Parahyangan dan Argogede. Namun, hal ini hanya menjadi solusi singkat. Okupansi penumpang yang sempat terkatrol anjlok kembali. Akhirnya, akhir bagi Parahyangan tiba. Pada 26 April 2010, Parahyangan berjalan untuk terakhir kalinya. Perjalanan terakhir Parahyangan dihela oleh CC201 99, dengan dihadiri puluhan penumpang setia yang sudah berlangganan sejak era 1990, bahkan 1980an. Dua stasiun televisi swasta juga meliput akhir dari Parahyangan. Per 27 April 2010, Parahyangan digabung dengan Argogede, menjadi Argo Parahyangan, mengakhiri perjalanan yang telah ditempuh sejak 1971.
Catatan :
Sistem eigenaar merupakan sistem dimana kru bertanggungjawab atas lok yang “diberikan” kepadanya. Kru bertanggungjawab membawa serta melakukan perawatan ringan terhadap lok. Sistem ini dapat disamakan dengan sistem batangan yang dikenal di dunia per-busan Indonesia.