Menu Tutup

Runtuhnya Jembatan Sakalibel, 1972

Hujan deras mengguyur Bumiayu pada 18 Maret 1972. Kali Keruh yang berada di bawah Jembatan Sakalibel meluap. Sekitar pukul 16.30, sebuah pilar Jembatan Sakalibel runtuh, menyeret rangka jembatan yang ditopangnya jatuh ke sungai. Pilar ini runtuh tidak lama setelah KA Cepat Solo (Jakarta-Solo) melintas di atasnya.

Runtuhnya pilar dan rangka jembatan diiringi dengan gemuruh dan guncangan keras. Seorang warga Desa Adisana, Dasori, yang mengetahui jika pilar Jembatan Sakalibel runtuh segera bergegas menemui Bau (Kepala Dusun) Ramli. Setelah melapor kepada Bau Ramli, Dasori segera bergegas menuju Stasiun Bumiayu untuk memberi kabar runtuhnya pilar Sakalibel, menerobos hujan yang masih mengguyur dengan deras. Bau Ramli segera menghubungi atasannya, Carik (Sekretaris Desa) Chaeruddin serta mengumpulkan beberapa orang warga untuk menghentikan KA dari arah Purwokerto. Sementara warga membuat tiga buah pos untuk menghentikan KA, Bau Ramli beserta beberapa orang Polisi Desa bergegas menuju Stasiun Kretek agar dapat menahan KA dari arah Purwokerto.

Sayangnya, dari arah Purwokerto sudah meluncur KA Djaja III (Surabaya-Gambir) sebelum Bau Ramli tiba di Kretek. Kini, KA tsb mengarah ke pos-pos warga. Pos pertama dan Pos kedua tidak dihiraukan oleh masinis. Warga di pos terakhir kemudian berjibaku untuk memberi tanda ke masinis agar berhenti dalam guyuran hujan yang masih deras. Beruntung, masinis melihat tanda yang diberikan warga dan menghentikan KAnya. Djaja III berhenti. Setelah diberitahu kondisi Jembatan Sakalibel yang tidak dapat dilalui, Djaja III kemudian mundur kembali ke Kretek. Sebuah malapetaka dapat dicegah atas keberanian dan kepedulian warga Desa Adisana.

Sepuluh hari kemudian, pada 28 Maret 1972, 6 orang warga dan perangkat Desa Adisana mendapatkan apresiasi dari Pemerintah Pusat. Keenamnya adalah Dasori, Bau Ramli, Carik Chaeruddin, Rakub, Rais, dan Tjatam. Apresiasi yang diberikan Pemerintah Pusat berupa uang tunai sebesar Rp. 30.000 serta Piagam Penghargaan. PNKA juga memberikan apresiasi dengan memberikan tiket secara gratis untuk keenam orang tadi selama 6 bulan untuk seluruh jurusan. Presiden Soeharto juga memberikan apresiasi dengan menghadiahkan 6 ekor kerbau untuk keenam orang tersebut. Desa Adisana tidak luput dari apresiasi. Sebagai bentuk hadiah kepada warga Desa Adisana, Pemerintah Pusat memberikan sebuah Sekolah Dasar untuk Desa Adisana. Saat ini, Sekolah Dasar ini masih berdiri dan beroperasi dengan nama SD N 1 Adisana. SD ini terletak tidak jauh dari rel kereta api.

Perbaikan pilar yang runtuh. Foto koleksi Bpk. Harriman Widiarto

Perbaikan pilar yang runtuh segera dilakukan, termasuk penggantian rangka besi yang jatuh ke dasar jembatan. Tiang beton yang runtuh diganti dengan tiang besi, sementara rangka besi yang baru dipasang. Tiang Besi ini masih dapat kita saksikan hingga saat ini, meskipun Jembatan Sakalibel sudah tidak lagi digunakan. Perbaikan sendiri selesai sekitar bulan Juli 1972, sekalipun jembatan sudah dapat dilalui pada bulan Juni 1972.

Pada 16 Juni 1972, Menteri Perhubungan Frans Seda berkunjung ke Adisana untuk meresmikan SD N 1 Adisana sekaligus meninjau Jembatan Sakalibel. Berikut foto-foto koleksi Perpustakaan Nasional :

Menteri Perhubungan Frans Seda menandatangani sebuah piagam. Panggung sederhana didirikan di pinggir rel untuk acara ini.
Menhub Frans Seda berpidato, dengan latar belakang SD N 1 Adisana
Menhub beserta rombongan duduk di ruang kelas SD N 1 Adisana. Nampak panggung acara di latar belakang
Enam orang warga dan perangkat desa Adisana yang mendapat penghargaan
SDN 1 Adisana dengan latar belakang Jembatan Sakalibel
Rangkaian KLB yang ditarik lokomotif BB200 melewati Jembatan Sakalibel
Rangkaian KLB bersiap melintasi jembatan
Kondisi di sekitar pilar yang runtuh. Nampak bongkahan pilar di sisi kanan pilar baru, bergeser sekitar 50 meter dari posisi aslinya

Tiang Besi dan SD N 1 Adisana menjadi bukti dari heroisme Warga Adisana yang mencegah timbulnya korban dengan menghentikan KA Djaja III. Keduanya masih dapat kita saksikan hingga saat ini, sebagai sebuah monumen atas sebuah peristiwa yang pantas kita kenang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Tidak Diperbolehkan Menyalin Isi Laman Ini