Menu Tutup

Sejarah KA Lokal Jalur Kantong

Jalur Kantong adalah sebutan bagi jalur Surabaya-Bangil-Malang-Kertosono-Surabaya. Jalur Lingkar Jatim ini setiap harinya dilalui tiga KA Lokal, yaitu Tumapel, Dhoho, dan Penataran. Dua dari tiga KA Lokal ini masih “bersaudara”. Bagaimanakah sejarahnya?
Berawal dari Tumapel
Pada 14 Januari 1971, PNKA meluncurkan sebuah KA Pattas yang melayani rute Malang-Surabaya PP. KA Pattas ini diberi nama Tumapel. Nama Tumapel diambil dari nama ibukota kerajaan Singhasari (Sumber lain ada yang menyebutkan jika Tumapel adalah nama resmi kerajaan Singhasari). Pada awal peluncurannya, Tumapel hanya terdiri dari 3 kereta kelas 3 (CW) dengan livery Biru-Putih. Tumapel adalah kereta kelas 3 plus, dimana penumpang mendapat snack serta air minum, dan dilayani pramugari. Pada perjalanan perdananya, Tumapel dihela BB301 54. Tumapel sendiri pada awalnya hanya memiliki 3 trip perjalanan PP, dengan waktu tempuh tercepat 80 menit.​Peluncuran Tumapel di Malang. Foto koleksi Bpk. Imam Hidayat, discan oleh Rio Prabowo :
Pada April 1973, dua trip Tumapel diperpanjang ke Blitar. Akibatnya, terdapat dua Tumapel, satu tujuan Blitar dan satu lainnya tujuan Malang. Tumapel pada tahun ini masih menggunakan 3 CW, salah satu diantaranya adalah CW Minibar (Kereta Kelas 3 yang dilengkapi Minibar), namun ditarik BB303. Respon pasar di Blitar sendiri sangat memuaskan, dimana tidak berselang lama setelah ditarik ke Blitar, ditambah jadwal ketiga yang rangkaiannya menginap di Blitar. Pada tahun 1973, harga tiket Tumapel adalah Rp. 250 untuk rute Blitar-Malang, sementara harga tiket KA Lokal Biasa untuk rute Blitar-Malang hanya Rp. 85. Awalnya, Tumapel Blitar hanya berhenti di Malangkota Lama, Kepanjen, Kesamben, dan Wlingi. Pada tahun 1974, salah satu jadwal Tumapel Blitar stamformasinya berubah, menjadi 3 CW + DW (bagasi). Pada tahun 1975, rangkaian Tumapel sempat “menyusut”, hanya membawa 2 CW, namun kembali “normal” menjadi 3 CW + DW. Jadwal Tumapel Malang sendiri sempat ditambah disela-sela jadwal Tumapel Blitar.
Tumapel Blitar di Jembatan Lahor. Agenda PJKA koleksi Bpk. Harriman Widiarto
Pada tahun 1976, Tumapel Malang dan Tumapel Blitar “turun pangkat” menjadi KA Lokal biasa. Waktu tempuh menjadi lebih lama karena KA harus berhenti di hampir semua stasiun. Pada 1980an awal, PJKA membuat gebrakan dengan meluncurkan Pattas Tumapel Utama. Awalnya, Tumapel Utama memiliki rute yang sama seperti Tumapel saat awal diluncurkan, yaitu Surabaya-Malang PP. Namun, pada 1985, Tumapel Utama diperpanjang ke Blitar. Sebagai akibat dari perpanjangan Tumapel Utama, maka Tumapel Blitar berganti nama menjadi Penataran. Akibatnya, mulai 1985 terdapat 3 KA di jalur Blitar-Malang-Surabaya, yaitu Penataran (Blitar-Malang-Surabaya), Tumapel (Malang-Surabaya), dan Tumapel Utama (Blitar-Surabaya). Pada era itu, posisi BB303 sudah digantikan BB301. Pattas Tumapel Utama sendiri selalu dijatah “kereta baru”, seperti dijatah K3-855 pada 1985 saat K3 tersebut baru keluar dari INKA. Tumapel Utama sendiri membawa pramugari. Seiring berjalannya waktu, justru Penataran yang namanya semakin berkibar. Kini, hanya ada dua perjalanan Tumapel (Malang-Surabaya). Tumapel Utama sendiri harus dihapus pada 2002, dan diganti dengan perjalanan Penataran-Dhoho biasa.
Rapih Dhoho
Pada 21 Agustus 1971, PNKA meluncurkan KA Dhoho. KA ini adalah KA kelas 3 kategori Cepat. Anda mungkin familiar dengan nama Rapih Dhoho, namun, apakah sebenarnya arti namanya? Rapih berarti Rangkaian Pisah. Hal ini karena awalnya Dhoho memiliki dua rangkaian, satu tujuan Blitar, dan satu tujuan Madiun. Kedua rangkaian akan dipisah/disambung di Kertosono. Jadi, relasi awal Dhoho adalah Surabaya-Kertosono Blitar/Madiun. Dari Blitar, Dhoho membawa 3 CL (Kereta kelas 3 dengan rem vakum) dan ditarik C27/C28, sementara dari Madiun, Dhoho membawa 3 CL yang ditarik D52. Di Kertosono, kedua rangkaian digabung dan melanjutkan perjalanan dengan ditarik D52. Dari Surabaya, Dhoho ditarik D52. Di Kertosono, D52 melanjutkan perjalanan ke Madiun, sementara C27/C28 mengambil alih potongan rangkaian tujuan Blitar. Sayangnya pada 1972, rangkaian Madiun dihapus. Relasi Dhoho berubah menjadi Surabaya-Kertosono-Blitar. Namun demikian, Dhoho masih ditarik D52 dari Kertosono/Surabaya. Dhoho sendiri menjadi KA Cepat terakhir yang ditarik lok uap.​ Pada 1976, Dhoho “di-dieselisasi”. Lok BB301 digunakan untuk menarik KA Dhoho, menggantikan posisi D52 dan C28.
Dhoho di Wilangan. Dari buku A.E Durrant “Lokomotip Uap”, discan oleh Bpk. Indra Krishnamurti

Pada masa sekarang, terdapat rangkaian yang perjalanannya memutar. Rangkaian ini membawa nama Penataran dan Dhoho, dimana namanya diganti di Blitar. Dari Surabaya, jika berjalan ke Kertosono, nama yang dipakai adalah Dhoho. Sementara jika berjalan ke arah Malang, nama yang dipakai adalah Penataran. BB301 sendiri masih digunakan untuk menarik Penataran/Dhoho hingga sekitar 2011 silam. Posisi BB301 sebagai lok Penataran/Dhoho secara bertahap mulai digantikan oleh CC201 sekitar 2004/2005, saat Sidotopo mendapat tambahan CC201 dari Depo Bandung dan Cirebon. Baik Tumapel, Penataran/Dhoho saat ini ditarik CC201/CC203. Ketiga KA ini adalah KA Ekonomi PSO yang mendapat jatah subsidi dari Pemerintah.

Iklan KA Dhoho. Koleksi Bpk. Mohamad Lutfi Tjahjadi

Yang Pernah Ada

Penataran Ekspres
Pada 1 November 2013, KAI meluncurkan Penataran Ekspres. Penataran Ekspres memiliki relasi Surabaya-Malang PP. Pada peluncurannya, Penataran Ekspres ditarik CC206 13 37. Berbeda dengan Penataran biasa, Penataran Ekspres adalah KA Komersial. Harga tiket Malang-Surabaya dipatok Rp. 25.000. Stasiun perhentiannya juga lebih sedikit dibandingkan Penataran Biasa. Penataran Ekspres menggunakan kereta ekonomi biasa (106 Tempat Duduk), sama seperti Penataran biasa. Namun, eksteriornya dibalut stiker bernuansa biru, dengan gambar-gambar ikon pariwisata Surabaya dan Malang.

Penataran Ekspres. Foto : Yan Ardiansyah

Pada Februari 2014, Penataran Ekspres diperpanjang ke Blitar. Perpanjangan dilakukan untuk menjaring lebih banyak penumpang. Tiker Surabaya-Blitar dipatok Rp. 45.000. Sayangnya, mulai 6 Januari 2015, Penataran Ekspres dihentikan operasinya. Penyebabnya, okupansinya minim karena dianggap mahal dan waktu tempuhnya tidak berbeda jauh dengan Penataran Biasa.

Gerbang Kertasusila
Gerbang Kertasusila merupakan singkatan dari Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan. Sempat ada satu rute KRD Gerbang Kertasusila tujuan Blitar. Rute ini muncul pada 1976, menggunakan KRD seri MCW-301 yang saat itu masih baru. Awalnya, rangkaian Gerbang Kertasusila hanya terdiri dari 1 set KRD (2 kereta).

Rangkaian KRD Gerbang Kertasusila di Kediri, 6 November 1980. Foto : Werner+Hansjorg Brutzer
Gerbang Kertasusila berangkat sekitar jam 04 pagi dari Surabaya, tiba di Blitar sekitar jam 09 pagi. Kemudian sekitar jam 09.30 diberangkatkan kembali menuju Kertosono. Dari Kertosono, Gerbang Kertasusila kembali lagi menuju Blitar. Gerbang Kertasusila baru kembali ke Surabaya dari Blitar sekitar pukul 15/16 sore. Menurut penuturan Bpk. Nurcahyo, seorang railfan senior asal Blitar, Gerbang Kertasusila hanya bertahan hingga 1978. Namun foto Werner Brutzer di atas sepertinya membuktikan Gerbang Kertasusila masih eksis hingga 1980, entah reguler atau hanya jadwal fakultatif. MCW-301 yang digunakan Gerbang Kertasusila sendiri termasuk “mogokan”.
KRD Blitar
Pada 1982, dijalankan KRD relasi Surabaya-Kertosono-Blitar. Armada yang digunakan adalah MCW-302 yang baru didatangkan dari Jepang.  KRD ini berjalan 3 pp per harinya, dengan 1 pp menggantikan satu jadwal Dhoho.  KRD ini berangkat dari Blitar pukul 04, 10, dan 15. Formasinya menggunakan 3 set (6 kereta). Okupansi KRD ini cukup bagus, dengan banyaknya penumpang yang berdiri setiap harinya. KRD ini dikemudian hari disebut sebagai KRD Rapih Dhoho. Sekitar 1986, perjalanan KRD Rapih Dhoho hanya menjadi satu pp per hari. Sisanya digantikan oleh rangkaian K3 biasa yang ditarik lok. KRD Rapih Dhoho akhirnya dihapus sekitar 1992.
Kelud Ekspres
Pada 13 Agustus 2012, KAI meluncurkan Kelud Ekspres relasi Blitar-Kertosono-Surabaya. Kelud Ekspres merupakan KA Ekonomi Komersil. Rangkaian yang digunakan adalah C-KRDE. Namun, Kelud Ekspres tidak bertahan lama. Tidak sampai satu tahun setelah beroperasi, Kelud Ekspres dihapus karena okupansi yang minim.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

error: Tidak Diperbolehkan Menyalin Isi Laman Ini